Telusur.news, OPINI – Di tengah gegap gempita pembangunan desa dan semangat nasionalisme yang kian digaungkan lewat simbol merah putih, pemerintah meluncurkan sebuah program ambisius: Koperasi Merah Putih.
Dengan target membangun 80.000 koperasi di seluruh desa dan kelurahan Indonesia, gagasan ini tak hanya mencerminkan loncatan administratif, tapi juga memunculkan harapan baru atas wajah ekonomi rakyat yang lebih mandiri dan berdaulat. Namun seperti sejarah yang kerap datang dengan wajah baru, muncul satu pertanyaan mendasar: apakah kita sedang melangkah terlalu cepat?
Antusiasme yang Mungkin Terlalu Bergegas
Dibayangi oleh agenda besar pengentasan kemiskinan, pemerataan ekonomi, dan penguatan UMKM, Koperasi Merah Putih memang terlihat menjanjikan di atas kertas. Pemerintah menawarkan skema yang besar. pembiayaan hingga Rp5 miliar per koperasi desa, unit usaha lengkap dari simpan pinjam, pengolahan hasil pertanian, logistik, hingga layanan kesehatan. Pendampingan teknis dijanjikan tersedia. Model bisnis telah dirancang. Target nasional ditetapkan.
Namun di balik geliat besar ini, muncul keraguan yang pelan-pelan mengendap: apakah masyarakat desa sungguh dilibatkan sejak awal? Apakah koperasi ini lahir dari kebutuhan nyata, atau sekadar hadir dari pusat sebagai proyek siap edar yang harus dijalankan demi mengejar target angka?
Pertanyaan ini tak bisa dijawab semata-mata dengan daftar fasilitas atau nominal anggaran. Sebab koperasi bukan soal gedung dan dana. Ia adalah organisme sosial. tempat pendidikan kesadaran ekonomi, ruang belajar demokrasi, dan wahana perjuangan bersama. Ia hidup bukan karena bantuan, melainkan karena partisipasi sadar para anggotanya.
Yang lebih genting lagi: siapa yang akan mengelola koperasi-koperasi ini?
Di banyak desa, kapasitas sumber daya manusia untuk mengelola koperasi masih jauh dari memadai. Tak sedikit pengurus yang muncul bukan karena kapabilitas, melainkan karena kedekatan dengan perangkat desa atau karena memang “tak ada pilihan lain.” Banyak pula yang masih memandang koperasi sebatas “perpanjangan tangan bantuan,” bukan badan usaha milik anggota.
Tanpa pelatihan yang intensif dan berkelanjutan, koperasi yang lahir secara top-down berisiko menjadi wadah kosong. Administrasi mungkin berjalan ada rapat, proposal, laporan tapi semangat kolektif dan keterlibatan warga nyaris tak terasa.
Lebih dari itu, tanpa manajemen profesional dan akuntabel, koperasi akan mudah tergelincir menjadi alat elite desa. Potensi penyalahgunaan dana, korupsi internal, hingga konflik antaranggota bisa membesar bila tak ada sistem pengawasan partisipatif dan kontrol sosial dari anggota sendiri.
Itulah sebabnya, koperasi tak bisa dilahirkan dalam semalam. Ia harus disemai, tumbuh perlahan dari akar, Butuh waktu membangun pemahaman, tentang makna keanggotaan, tentang modal sosial, tentang kepercayaan, pengambilan keputusan bersama, dan tanggung jawab terhadap dana kolektif.
Tanpa itu, koperasi hanya menjadi proyek infrastruktur sosial yang hampa. Gedungnya ada, papan nama dipasang, buku simpan pinjam tersusun, tapi ruh koperasinya tak hidup. Yang tercipta hanyalah koperasi administratif, bukan koperasi gerakan.
Karena itu, pemerintah baik pusat maupun daerah perlu menggeser fokus dari sekadar “kuantitas koperasi berdiri” ke “kualitas kesiapan koperasi.”
Pelatihan pengelola harus menjadi fondasi utama. Bahkan sebelum koperasi didirikan, masyarakat desa perlu melalui proses pemahaman bersama tentang peran, fungsi, dan nilai koperasi.
Sebab pada hakikatnya, koperasi adalah pendidikan tanggung jawab bersama yang terus-menerus. Ia tak bisa dibentuk lewat perintah atau sekadar suntikan dana. Seperti pepatah lama yang semakin relevan hari ini: “Koperasi itu mendidik, bukan mendadak.”
KUD: Bayang-Bayang yang Masih Menghantui
Tak bisa dipungkiri, gaung Koperasi Merah Putih hari ini membangkitkan kembali ingatan kolektif akan Koperasi Unit Desa (KUD) institusi ekonomi desa yang begitu menonjol pada masa Orde Baru. Didirikan atas semangat seragam dan dorongan kuat dari negara, KUD menjadi ujung tombak kebijakan ekonomi nasional di tingkat desa. mendistribusikan pupuk, menjembatani hasil panen, menyalurkan kredit, hingga menjadi pelaksana berbagai program pemerintah.
Namun waktu menunjukkan, KUD tak sanggup bertahan sebagai lembaga yang hidup dan relevan. Banyak yang akhirnya kolaps, stagnan, atau sekadar tinggal nama. Mengapa KUD gagal? Dan lebih penting, bagaimana mencegah Koperasi Merah Putih agar tidak terjerumus ke lubang sejarah yang sama?
1. Lahir dari Instruksi, Bukan Inisiatif
KUD tidak tumbuh dari kesadaran anggota, melainkan dari desain struktural yang seragam. Akibatnya, tak ada rasa memiliki. Partisipasi semu. Rapat formalitas. Kepengurusan seringkali ditunjuk, bukan dipilih secara demokratis. Jika Koperasi Merah Putih mengikuti pola ini, kegagalan struktural akan kembali mengintai.
2. Ketergantungan pada Negara
KUD tumbuh dalam pelukan subsidi dan fasilitasi. Namun saat dukungan ditarik, ia limbung karena tak terbiasa mandiri. Jika Koperasi Merah Putih kembali dimanjakan tanpa membangun daya saing, skenario ini akan terulang bantuan menjadi beban.
3. Politik Lokal dan Korupsi Struktural
Koperasi bisa menjadi alat elite lokal jika kontrol sosial lemah. Transparansi dikesampingkan, pengurus lebih loyal ke atasan birokrasi ketimbang anggota. Akibatnya, koperasi berubah dari alat pemberdayaan menjadi alat kekuasaan.
4. Struktur Terlalu Baku, Tidak Kontekstual
KUD gagal membaca keragaman lokal. Modelnya satu, diterapkan ke semua desa. Jika Koperasi Merah Putih mengulang keseragaman ini, kegagalan hanya soal waktu.
Koperasi desa adalah langkah strategis menuju kedaulatan ekonomi rakyat. Tapi itu hanya bisa terjadi jika kita belajar dari sejarah, bukan mengulanginya dengan bungkus baru.
Jangan biarkan Koperasi Merah Putih menjadi “KUD jilid dua” mulia dalam niat, namun buruk dalam pelaksanaan. Sebab koperasi bukan soal membangun struktur, tapi menumbuhkan kultur.
BUMDes: Di Mana Posisinya?
Dalam riuh pembentukan Koperasi Merah Putih, ada satu pertanyaan strategis yang belum terjawab. bagaimana posisi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)?
Sejak dilegalkan melalui Undang-Undang Desa 2014, BUMDes telah menjadi simbol kemandirian ekonomi desa. Dalam satu dekade, ia tumbuh sebagai lembaga yang relatif mapan, meski belum sempurna. Kini, dengan hadirnya koperasi baru yang digagas dari pusat, muncul potensi tumpang tindih. satu desa dengan dua lembaga ekonomi, dua struktur, dua arah tetapi sumber daya manusia yang sama terbatasnya.
Idealnya, sinergi menjadi kata kunci. Namun sinergi tidak tumbuh dari harapan semata. Ia perlu desain yang jelas dan relasi kelembagaan yang terarah.
Tanpa itu, tumpang tindih bisa berubah menjadi konflik. Apalagi jika BUMDes dan koperasi berada di bawah kepentingan politik yang berbeda. Struktur sosial desa tak steril dari perebutan kuasa. Jika tidak hati-hati, keduanya bisa saling melemahkan bukan saling menguatkan.
Pemerintah harus segera merumuskan Kebijakan integratif antara koperasi dan BUMDes, Panduan teknis pembagian peran yang sesuai konteks lokal, Forum musyawarah desa sebagai ruang negosiasi antar pemangku kepentingan.
Tanpa langkah ini, yang menjadi korban bukan hanya lembaga, tapi warga desa itu sendiri pemilik sah dari seluruh proses pembangunan ekonomi di kampung halamannya.
Saran: Menyemai, Bukan Menanam Paksa
Jika koperasi sungguh ingin dijadikan tulang punggung ekonomi rakyat, maka pemerintah harus berhenti memandangnya sebagai proyek instan. Koperasi bukan produk teknokratis, tapi proses sosial. Ia harus disemai dari bawah, dari kebutuhan nyata, dan dari relasi kepercayaan yang tumbuh.
Berikut beberapa saran korektif:
1. Biarkan Tumbuh Alami
Hindari pendekatan seragam. Setiap desa unik. Beri ruang dan waktu agar koperasi tumbuh dari kebutuhan lokal.
2. Integrasikan dengan BUMDes
Jangan posisikan koperasi sebagai pesaing. Keduanya bisa saling menopang bila ada pembagian peran yang jelas.
3. Fokus pada SDM
Tanpa pengelola yang cakap dan jujur, koperasi hanya tinggal papan nama. Investasi terbesar seharusnya ada pada pendidikan pengurus.
4. Lindungi dari Politisasi
Jangan biarkan koperasi jadi alat kampanye. Bangun mekanisme partisipatif dan pengawasan yang independen.
5. Kembalikan Semangat Gerakan
Koperasi bukan sekadar laporan atau rapat. Ia adalah ruang belajar demokrasi, solidaritas, dan tanggung jawab kolektif.
Penutup
Koperasi Merah Putih membawa harapan besar bagi masa depan ekonomi desa. Tapi harapan itu tidak bisa dibebankan hanya pada dana dan target pusat. Ia harus tumbuh dari partisipasi warga, dalam kesabaran, dan dalam pendidikan sosial yang berkelanjutan.
Mendirikan koperasi itu mudah. Tapi membangun kesadaran berkoperasi adalah kerja lintas generasi. Butuh waktu, ketekunan, dan kesetiaan pada nilai gotong royong.
Seperti tanaman yang baik, koperasi hanya bisa tumbuh jika ditanam di tanah sosial yang subur, disiram oleh partisipasi yang tulus, dan disinari oleh pendidikan yang membebaskan. Sebab sekali lagi: koperasi itu mendidik, bukan mendadak.
(Oleh: Nev Setiawan)
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.